bab sejarah
Minggu, 26 Agustus 2012
prabu kian santang
Cerita Tentang Walangsungsang ( Prabu Kiansantang )
Dalam beberapa kisah Pangeran Cakrabuana atau Walangsungsang dianggap sama dengan
Kiansantang, padahal dalam kisah lainnya Pangeran Cakrabuana banyak juga yang menyebut
namanya dengan sebutan Arya Santang.
Kiansantang dalam cerita lain sering dianggap sebagai seorang anak yang berupaya mengislamkan
Prabu Siliwangi (ayahnya), sehingga terjadi peperangan. Padahal kejatuhan Pajajaran terjadi jauh-
jauh hari pasca wafatnya Sri Baduga. Tidak ada alasan seorang raja yang memiliki tahta penuh harus
ngalalana lantaran dikejar-kejar anaknya, sementara dia sendiri masih bertahta sebagai raja yang
berkuasa. Ada juga yang menyebutkan bahwa Kiansantang adalah nama lain dari Rajasangara yang
dikebumikan di daerah Godog – Garut. Ia termasuk penyebar islam di Jawa Barat.
Dalam cerita lainnya Kiansantang dianggap tilem dan tetap kokoh ngagem agama leluhurnya. Ia
dianggap benteng budaya sunda yang tak lekang ditelan waktu tak luntur ditelan masa. Tapi patut
pula diakui, bahwa kesimpang siuran penafsiran Kiansantang membawa pada pemahaman yang
kurang pas tentang sosok sejarah Cakrabuana, bahkan ada yang menafsirkan bahwa Kiansantang
bukan Arya Santang. Namun mudah mudahan kedepan ada sejarawan yang mampu menguak tabir
ini, tentunya melalui cara pemisahan antara mitos dan sejarahnya yang hakiki.
Siapa Cakrabuana ?
Perkawinan Sang Pamanahrasa (Sri Baduga Maharaja) dengan Nyi Mas Subanglarang, putri dari Ki
Gedeng Tapa, memperoleh putera dan putri, yakni Walangsungsang, Rara Santang dan Rajasangara.
Sang Pamanah Rasa mempersunting Nyi Mas Subanglarang setelah terlebih dahulu mengalahkan
Raja Sakti Mandraguna dari wilayah Cirebon, yakni Amuk Murugul. Dengan demikian, baik dari Sirsilah
ibu maupun ayah, Walangsungsang masih teureuh Niskala Wastukancana.
Subanglarang sebelum dipersunting Sang Pamanahrsa terlebih dahulu telah memeluk agama Islam.
Ia pun alumnus dari Pesantren Quro yang didirikan oleh Syeh Hasanudin atau Syeh Quro (bukan Sultan
Hasanudin). Menjadi tidak mengherankan jika putra-putrinya memeluk agama Islam dan direstui oleh
Sang Pamanahrasa.
Bahwa memang ada cerita tentang keluarnya ketiga bersaudara tersebut keluar lingkungan istana
Pakuan disebabkan ada perselisihan tahta antara Subanglarang dengan Kentring Manik
Mayangsunda. Namun ada pula yang menceritakan bahwa keluarnya Walangsungsang dari
lingkungan Pakuan bersama adiknya, Nyi Mas Rarasantang dilakukan dengan seijin ayahnya,
sedangkan Rajasangara tetap berada dilingkungan Pakuan. Untuk kemudian tahta Pajajaran
diteruskan oleh Surawiesa putra Sri Baduga dari Kentring Manik Mayangsunda. Bahkan ketika masih
menjadi Prabu Anom Surawisesa, pajajaran mengadakan perjanjian dengan Portugis (1512 M)
disebut-sebut perjanjian ini merupakan kali pertama yang di dokumentasikan dengan baik.
Yoseph Iskandar didalam bukunya menjelaskan, bahwa : pada suatu ketika, Walangsungsang
bersama adik-adiknya meminta izin secara baik-baik kepada ayahandanya, untuk pergi ke Kerajaan
Singapura (Cirebon). Alasan Walangsungsang dan adik-adiknya yang utama dikemukakan secara terus
terang kepada ayahnya. Walangsungsang yang berstatus Tohaan (Pangeran), juga adik-adiknya,
merasa bertanggung jawab untuk meningkatkan kualitas dirinya sebagai putera-puteri Maharaja.
Mereka merasa haus akan ilmu pengetahuan, terutama dibidang keagamaan. Ketika ibunya masih
hidup, mereka ada yang membimbing, tetapi ketika ibunya telah wafat, di Pakuan tidak ada orang
yang bisa dijadikan guru mereka. Tidak Ada lagi penenang batin yang memadai bagi mereka.
Sri Baduga Maharaja, ketika itu masih berstatus Prabu Anom, bahkan mertuanya (Prabu
Susuktunggal) masih dibawah kekuasaan kakeknya, Sang Mahaprabu Niskala Wastu Kancana. Sri
Baduga Maharaja atau Prabu Anom Jayadewata, sangat maklum atas keinginan ketiga puterinya itu.
Dengan berat hati ia hanya mengijinkan Walangsungsang dan Rara Santang, sedangkan Rajasangara
dimohon tetap tinggal di Pakuan.
Tentang Rajasangara ini mungkin pada suatu waktu menimbulkan penafsiran yang berbeda,
terutama ketika ia diindetifisr sebagai Kiansantang. Padahal nama Rajasangara sangat jarang
disebut sebut dalam sejarah lisan dan kalah tenar dibandingkan dengan Kiansantang. Namun sangat
sulit mencari sejarah yang ditulis resmi tentang Kiansantang.
Pengembaraan
Didalam cerita masa lalu, pengembaraan seorang anak raja guna menambah ilmu dan memperluas
cakrawala bathinnya merupakan faktor penting bagi perkembangan kepribadiannya. Hal ini sama
ketika dilakukan oleh Niskala Wastu Kancana yang mengembara ke wilayah Sumatera, atau Sri
Baduga sebelum menduduki tahta Pajajaran. Dalam dokumen resmi pun demikian, seperti yang
diketahui tentang Bujangga Manik, yang kelak dikemudian hari banyak dirujuk sebagai topografi
untuk wilayah pada saat itu.
Demikian pula dalam kisah Walanagsungsang, sebagai seorang yang haus akan ilmu Pangeran
Walangsungsang kemudian memohon pamit juga kepada Ki Gedeng Tapa untuk berguru mencari
ilmu ditempat lain.
Sulit dibayangkan oleh para peminat sejarah yang kadung mendikotomi ageman ketika ada kisah
Walangsungsang memperistri Indang Geulis, putri dari Ki Danuwarsih, seorang pendeta Budha. Hal
ini terjadi ketika Walangsungsang melakukan pengembaraan ke wilayah Timur. Hingga pada suatu
hari ia tiba di padepokan Ki danuwarsih, seorang pendeta agama Budha. Ki Danuwarsih adalah anak
seorang pendeta Budha, Ki Danusetra yang berasal dari Gunung Dihyang (dieng), kemudian menjadi
pendeta di Keraton Galuh, ketika ibukota Kerajaan Galuh masih di Karang Kamulyan, Ciamis.
Pemaknaan lainnya mungkin juga dapat diambil ketika Walangsungsang berguru tanpa ia pun harus
meninggalkan agamanya. Yoseph Iskandar menafsirkan, bahwa : Mungkin saja ia ingin mengetahui
agama Budha, hanya sebagai studi perbandingan.
Didalam buku yang sama Yoseph Iskandar menjelaskna pula, bahwa : tempat tinggal Ki danuwarsih,
menurut naskah Pustaka nagara Kretabhumi parwa 1 sarga 4, hanya diterangkan di Parahiyangan
bang Wetan. Ketika mengadakan “Penelitian Bahasa Sunda” di Kabupaten Pakalongan atas prakarsa
Lemit Unpas tahun 1989, dikecamatan Paninggaran, terdapat beberapa situs, diantaranya makam
keramat Embah Wali Tanduran ; makam Pajajaran di bukit Sigabung, dan makam Pajajaran di Pacalan
Kampung Sebelas.
Pada saat dilakukan penelitian, sesepuh dan rakyat di Paninggaran, tidak pernah mengetahui asal usul
nama daerahnya. Ada yang mengatakan Paninggarang itu berasal dari kata “menginggar-
inggar” (penuh kegembiraan). Dalam bahasa Sunda sangat jelas bahwa arti dari kata paninggarang
adalah pemburu dalam bahasa Indonesia.
Setelah diterangkan bahwa paninggaran itu artinya pemburu, para sesepuh menerangkan,
sesungguhnya Embah Wali Tanduran itu dulunya seorang pemburu. Bahkan orang tua mereka
(penduduk asli Paninggaran), semuanya mahir berburu. Mereka membuktikannya dengan
memperlihatkan tombak-tombak pusaka dan panah pusaka peninggalan leluhurnya, yang khusus
hanya digunakan untuk memburu.
Makam Embah Wali Tanduran sebenarnya bukan makam, tetapi pasarean atau patilasan, bekas
Pangeran Cakrabuana. Begitu juga yang disebut makam Pajajaran di bukit Sigabung, adalah pasarean
tempat pangeran Cakrabuan menyepi. Kalau makam Pajajaran yang berada di Pacalan Kampung
Sebelas, itu tempat tinggalnya Pangeran Cakrabuana. Tentu masyarakat tidak akan berani merusak
batu-batu yang berada disana, karena suka bertemu dengan harimau putih dari Pajajaran.
Pangeran Cakrabuan nama lain dari Walangsungsang. Menurut KH Syarifudin, patilasan-patilasan
(situs) Pangeran Cakrabuana banyak terdapat tersebar di beberapa kecamatan. Setelah melihat peta
Kabupaten Pekalongan, patilasan-patilasan tersebut dapat dihubung-hubungkan melalui garis lurus,
terbentang antara Gunung Dieng (Dihyang) sampai Cirebon.
Berdasarkan identifikasi mungkin saja Walangsungsang pernah tinggal di padepokan agama Budha di
dataran tinggi Dieng. Atau pada waktu itu dataran tinggi Dihyang (Dieng) masih termasuk wilayah
“Parahiyangan bang Wetan”. Kalau indentifikasi tersebut “benar”, mungkin ketika Walangsungsang,
Indang Geulis, dan Rara Santang, pulang ke Cirebon, melalui jalur dan melewati Paninggaran.
Pada tanggal 14 bagian terang bulan Caitra tahun 1367 Saka atau Kamis tanggal 8 April 1445
Masehi, bertepatan dengan 1 Muharam 848 Hijriah, Walangsungsang membuka perkampungan baru
dihutan pantai kebon pasisir, diberi nama Cirebon Larang atau Cirebon Pasisir. Nama tersebut
diambil berdasarkan nama yang sudah ada, yaitu kerajaan Cirebon yang terletak dilereng Gunung
Cereme yang pernah dirajai oleh Ki Gedeng Kasmaya (putera sulung Sang Bunisora). Ketika Cirebon
Pasisir sudah berdiri, kawasan Cirebon yang dilereng Gunung Cereme kemudian disebut Cirebon
Girang. Ki Danusela menjadi kuwu yang pertama, dan Ki Samadullah terpilih menjadi pangraksabumi,
dengan julukan Ki Cakrabumi yang kemudian dijuluki pula Pangeran Cakrabuana.
Setelah menunaikan ibadah haji, Pangeran Walangsungsang alias Ki Samadullah alias Pangeran
Cakrabuana, mendapat nama baru, Haji Abdullah Imam. Begitu juga adiknya Rara Santang mendapat
nama baru sebagai Hajjah Syarifah Muda’im.
Haji Abdullah Imam bermukim selama 3 bulan di Mekkah. Ketika dalam perjalanan pulang ke Jawa
Barat sempat singgah di Bagdad (Irak) dan Cempa (Indo Cina). Di Cempa, Haji Abdullah Imam
berguru kepada Syeh Ibrahim Akbar. Haji Abdullah Imam dijodohkan dengan puterinya dan
dibawanya pulang ke Cirebon. Setibanya di Cirebon, isterinya Indah Geulis telah melahirkan seorang
puteri kemudian diberi nama Nyai Pakungwati.
Kemudian Haji Abdullah Imam memperisteri Ratna Riris, puteri dari Ki Danusela dan namanya diganti
dengan Kancana Larang. Ketika Ki Danusela wafat, Haji Abdullah Imam terpilih menjadi kuwu yang
kedua di Cirebon Larang. Selanjutnya setelah Ki Gedeng Tapa (kakeknya) wafat, Haji Abdullah Imam
tidak mendapat warisan tahtanya, melainkan mendapat warisan harta kekayaan yang berlimpah.
Bermodal warisan harta kekayaan dari kakeknya, Haji Abdullah Imam mendirikan keraton yang
kemudian diberi nama Keraton Pakungwati, diambil dari nama puterinya. Kemudian Haji Abdullah
Imam mendirikan tentara kerajaan.
Hubungan Cirebon – Pajajaran
Memperhatikan puteranya telah berhasil membuat kerajaan Islam pertama di Pajajaran, Sri Baduga
Maharaja mengutus Ki Jagabaya (Perwira Angkatan Perang Pajajaran) beserta pengiringnya, juga
turut serta Rajasangara (adik bungsu Haji Abdullah Imam), untuk merestuinya. Di keraton
Pakungwati, Haji Abdullah Imam dinobatkan sebagai raja daerah dengan gelar Sri Mangana.
Walangsungsang direstui ayahnya untuk menjadi penguasa Cirebon namun secara sukarela ia
menyerahkannya kepada keponakannya, anak dari Rarasantang, yaki Syarif Hidayat. Sekalipun
demikina ia pun masih mampu bertindak sebagai pelindung Cirebon.
Secara politis hubungan Pajajaran dengan Cirebon sangat tergantung dari hubungan Sri Baduga
dengan Walangsungsang. Hal ini mengalami masa krisis ketika Syarif Hidayat, atas dasar saran para
wali memproklamirkan Cirebon sebagai negara yang merdeka, dengan Raja pertamanya Syarif
Hidayat. Pada masa itu Sri Baduga akan mengirimkan pasukan untuk menyerang Cirebon, namun
berhasil dicegah oleh Purohita (pendeta tertinggi keraton), dengan alasan tidak baik seorang kakek
memerangi anak (walangsungsang) dan cucunya (Syarif Hidayat). Cirebon akhirnya menjadi negara
merdeka.
Memang kekhawatiran Sri Baduga terhadap Cirebon karena terlalu rapatnya hubungan dengan
Demak, terutama pasca pernikahan keturunan Cirebon dengan Dengan dan gadirnya armada laut
Demak di Cirebon. Padahal Pajajaran memiliki kekuatan pasukan darat namun sangat lemah di laut.
Hubungan dagang Demak – Cirebon makin menyulitkan perdagangan Pajajaran dengan dunia luar.
Dalam teori politik ekonomi dimungkinkan hubungan Demak – Cirebon bukan hanya menyangkut
masalah pengembangan agama, melainkan juga hubungan dagang. Untuk menjaga wilayahnya, Sri
Baduga kemudian membuat perjanjian dengan Portugis. Hal yang sama dilakukan oleh Hasanudin
(1546) ketika Banten dan Cirebon membantu Demak untuk menyerang Pasuruan, sama-sama negara
islam.
Dalam melaksanakan perjanjian, dari Pajajaran diwakili oleh Surawisesa, putra mahkota. Dalam
hikayat ini dimitoskan pula kisah Mundinglaya Dikusumah yang melawan Guriang. Kelak Guriang ini di
tafsirkan sebagai orang-orang Portugis yang berbadan tinggi dan besar jika dibandingkan dengan
orang sendiri.
Pasca wafatnya Sri Baduga keseganan Cirebon terhadap Pajajaran menjadi berkurang. Perang antara
keduanya terjadi selama lima tahun. Di front lainnya Galuh masih merasa memiliki ikatan sejarang
dengan Cirebon, karena Cirebon dahulu berada dibawah daulat Galuh, hingga Galuh melakukan
penyerangan ke Cirebon.
Ketika Cirebon sedang mempersiapkan penyerangan yang ditujukan ke Daerah Talaga, peperangan
terhenti ketika Syarif Hidayat mendapat berita, bahwa Walangsungsang pendiri Pakungwati dan
pelindung Cirebon wafat (1529 M). Dengan demikian Cirebon kehilangan sosok pelindung yang dapat
diandalkan.
Walangsungsang disebut-sebut memiliki andil yang dominan mencegah pertumpahan darah, ketika
pasca pengadilan Syekh Siti Jenar yang dilakukan Walisongo dihukum mati, ia berhasil mencegah
penguasa Cirebon untuk menghukum semua penganut Syi’ah.
Demikianlah kisah seorang pembaharu teureuh Sunda yang memiliki andil besar dalam kisah
penyebaran agama islam dan membangun Kota Cirebon. Ia pun memberikan pelajaran bagi kita
semua, bahwa tahta bukan segala-galanya. Sebagaimana yang ia contohkan ketika harus
menyerahkan tahta Cirebon kepada keponakannya sendiri, yakni Syarif Hidayat.
Dari cerita ini pula kedepan diharapkan ada kupasan yang lebih mendetail tentang pembedaan
pengaruh penyebaran islam dengan ekspansi dagang yang kadang harus bercaruk, sulit dipisahkan,
sehingga sulit menarik benang merahnya. (cag heula).
Suka
batara semar
Batara Semar
Siapa SEMAR..??
Batara Semar
MAYA adalah sebuah cahaya hitam. Cahaya hitam tersebut untuk menyamarkan segala sesuatu.
Yang ada itu sesungguhnya tidak ada. Yang sesungguhnya ada, ternyata bukan. Yang bukan dikira iya.
Yang wanter (bersemangat) hatinya, hilang kewanterane (semangatnya), sebab takut kalau keliru.
Maya, atau Ismaya, cahaya hitam, juga disebut SEMAR artinya tersamar, atau tidak jelas.
Di dalam cerita pewayangan, Semar adalah putra Sang Hyang Wisesa, ia diberi anugerah mustika
manik astagina, yang mempunyai 8 daya, yaitu:
1. tidak pernah lapar
2. tidak pernah mengantuk
3. tidak pernah jatuh cinta
4. tidak pernah bersedih
5. tidak pernah merasa capek
6. tidak pernah menderita sakit
7. tidak pernah kepanasan
8. tidak pernah kedinginan
kedelapan daya tersebut diikat pada rambut yang ada di ubun-ubun atau kuncung. Semar atau
Ismaya, diberi beberapa gelar yaitu; Batara Semar, Batara Ismaya, Batara Iswara, Batara Samara,
Sanghyang Jagad Wungku, Sanghyang Jatiwasesa, Sanghyang Suryakanta. Ia diperintahkan untuk
menguasai alam Sunyaruri, atau alam kosong, tidak diperkenankan menguasi manusia di alam dunia.
Di alam Sunyaruri, Batara Semar dijodohkan dengan Dewi Sanggani putri dari Sanghyang Hening. Dari
hasil perkawinan mereka, lahirlah sepuluh anak, yaitu: Batara Wungkuam atau Sanghyang Bongkokan,
Batara Siwah, Batara Wrahaspati, Batara Yamadipati, Batara Surya, Batara Candra, Batara Kwera,
Batara Tamburu, Batara Kamajaya dan Dewi Sarmanasiti. Anak sulung yang bernama Batara
Wungkuam atau Sanghyang Bongkokan mempunyai anak cebol, ipel-ipel dan berkulit hitam. Anak
tersebut diberi nama Semarasanta dan diperintahkan turun di dunia, tinggal di padepokan
Pujangkara. Semarasanta ditugaskan mengabdi kepada Resi Kanumanasa di Pertapaan Saptaarga.
Dikisahkan Munculnya Semarasanta di Pertapaan Saptaarga, diawali ketika Semarasanta dikejar oleh
dua harimau, ia lari sampai ke Saptaarga dan ditolong oleh Resi Kanumanasa. Ke dua Harimau
tersebut diruwat oleh Sang Resi dan ke duanya berubah menjadi bidadari yang cantik jelita. Yang tua
bernama Dewi Kanestren dan yang muda bernama Dewi Retnawati. Dewi Kanestren diperistri oleh
Semarasanta dan Dewi Retnawati menjadi istri Resi Kanumanasa. Mulai saat itu Semarasanta
mengabdi di Saptaarga dan diberi sebutan Janggan Semarsanta.
Sebagai Pamong atau abdi, Janggan Semarasanta sangat setia kepada Bendara (tuan)nya. Ia selalu
menganjurkan untuk menjalani laku prihatin dengan berpantang, berdoa, mengurangi tidur dan
bertapa, agar mencapai kemuliaan. Banyak saran dan petuah hidup yang mengarah pada keutamaan
dibisikan oleh tokoh ini. Sehingga hanya para Resi, Pendeta atau pun Ksatria yang kuat menjalani laku
prihatin, mempunyai semangat pantang menyerah, rendah hati dan berperilaku mulia, yang kuat di
emong oleh Janggan Semarasanta. Dapat dikatakan bahwa Janggan Semarasanta merupakan rahmat
yang tersembunyi. Siapa pun juga yang diikutinya, hidupnya akan mencapai puncak kesuksesan yang
membawa kebahagiaqan abadi lahir batin. Dalam catatan kisah pewayangan, ada tujuh orang yang
kuat di emong oleh Janggan Semarasanta, yaitu; Resi Manumanasa sampai enam keturunannya, Sakri,
Sekutrem, Palasara, Abiyasa, Pandudewanata dan sampai Arjuna.
Jika sedang marah kepada para Dewa, Janggan Semarasanta katitisan oleh eyangnya yaitu Batara
Semar. Jika dilihat secara fisik, Semarasanta adalah seorang manusia cebol jelek dan hitam, namun
sesungguhnya yang ada dibalik itu ia adalah pribadi dewa yang bernama Batara Semar atau Batara
Ismaya.
Karena Batara Semar tidak diperbolehkan menguasai langsung alam dunia, maka ia memakai wadag
Janggan Semarasanta sebagai media manitis (tinggal dan menyatu), sehingga akhirnya nama
Semarasanta jarang disebut, ia lebih dikenal dengan nama Semar.
Seperti telah ditulis di atas, Semar atau Ismaya adalah penggambaran sesuatau yang tidak jelas
tersamar.
Yang ada itu adalah Semarasanta, tetapi sesungguhnya Semarasanta tidak ada. Yang sesungguhnya
ada adalah Batara Semar, namun ia bukan Batara Semar, ia adalah manusia berbadan cebol,berkulit
hitam yang bernama Semarasanta. Memang benar, ia adalah Semarasanta, tetapi yang diperbuat
bukan semata-mata perbuatan Semarasanta.
Jika sangat yakin bahwa ia Semarasanta, tiba-tiba berubah keyakinan bahwa ia adalah Batara Semar,
dan akhirnya tidak yakin, karena takut keliru. Itulah sesuatu yang belum jelas, masih diSAMARkan,
yang digambarkan pada seorang tokoh Semar.
SEMAR adalah sebuah misteri, rahasia Sang Pencipta. Rahasia tersebut akan disembunyikan kepada
orang-orang yang egois, tamak, iri dengki, congkak dan tinggi hati, namun dibuka bagi orang-orang
yang sabar, tulus, luhur budi dan rendah hati. Dan orang yang di anugerahi Sang Rahasia, atau SEMAR,
hidupnya akan berhasil ke puncak kebahagiaan dan kemuliaan nan abadi.
by, pencerahan hati jenar
Sabtu, 18 Agustus 2012
biografi bung karno
Biografi Presiden Soekarno
Presiden pertama Republik
Indonesia, Soekarno yang biasa
dipanggil Bung Karno, lahir di
Blitar, Jawa Timur, 6 Juni 1901 dan
meninggal di Jakarta, 21 Juni
1970. Ayahnya bernama Raden
Soekemi Sosrodihardjo dan
ibunya Ida Ayu Nyoman Rai.
Semasa hidupnya, beliau
mempunyai tiga istri dan
dikaruniai delapan anak. Dari istri
Fatmawati mempunyai anak
Guntur, Megawati, Rachmawati,
Sukmawati dan Guruh. Dari istri Hartini mempunyai Taufan
dan Bayu, sedangkan dari istri Ratna Sari Dewi, wanita
turunan Jepang bernama asli Naoko Nemoto mempunyai
anak Kartika..
Masa kecil Soekarno hanya beberapa tahun hidup bersama
orang tuanya di Blitar. Semasa SD hingga tamat, beliau
tinggal di Surabaya, indekos di rumah Haji Oemar Said
Tokroaminoto, politisi kawakan pendiri Syarikat Islam.
Kemudian melanjutkan sekolah di HBS (Hoogere Burger
School). Saat belajar di HBS itu, Soekarno telah
menggembleng jiwa nasionalismenya. Selepas lulus HBS
tahun 1920, pindah ke Bandung dan melanjut ke THS
(Technische Hoogeschool atau sekolah Tekhnik Tinggi yang
sekarang menjadi ITB). Ia berhasil meraih gelar "Ir" pada 25
Mei 1926.
Kemudian, beliau merumuskan ajaran Marhaenisme dan
mendirikan PNI (Partai Nasional lndonesia) pada 4 Juli 1927,
dengan tujuan Indonesia Merdeka. Akibatnya, Belanda,
memasukkannya ke penjara Sukamiskin, Bandung pada 29
Desember 1929. Delapan bulan kemudian baru disidangkan.
Dalam pembelaannya berjudul Indonesia Menggugat, beliau
menunjukkan kemurtadan Belanda, bangsa yang mengaku
lebih maju itu.
Pembelaannya itu membuat Belanda makin marah. Sehingga
pada Juli 1930, PNI pun dibubarkan. Setelah bebas pada
tahun 1931, Soekarno bergabung dengan Partindo dan
sekaligus memimpinnya. Akibatnya, beliau kembali
ditangkap Belanda dan dibuang ke Ende, Flores, tahun 1933.
Empat tahun kemudian dipindahkan ke Bengkulu.
Setelah melalui perjuangan yang cukup panjang, Bung Karno
dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada
17 Agustus 1945. Dalam sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945,
Ir.Soekarno mengemukakan gagasan tentang dasar negara
yang disebutnya Pancasila. Tanggal 17 Agustus 1945, Ir
Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia. Dalam sidang PPKI, 18 Agustus
1945 Ir.Soekarno terpilih secara aklamasi sebagai Presiden
Republik Indonesia yang pertama.
Sebelumnya, beliau juga berhasil merumuskan Pancasila
yang kemudian menjadi dasar (ideologi) Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Beliau berupaya mempersatukan
nusantara. Bahkan Soekarno berusaha menghimpun bangsa-
bangsa di Asia, Afrika, dan Amerika Latin dengan Konferensi
Asia Afrika di Bandung pada 1955 yang kemudian
berkembang menjadi Gerakan Non Blok.
Pemberontakan G-30-S/PKI melahirkan krisis politik hebat
yang menyebabkan penolakan MPR atas
pertanggungjawabannya. Sebaliknya MPR mengangkat
Soeharto sebagai Pejabat Presiden. Kesehatannya terus
memburuk, yang pada hari Minggu, 21 Juni 1970 ia
meninggal dunia di RSPAD. Ia disemayamkan di Wisma Yaso,
Jakarta dan dimakamkan di Blitar, Jatim di dekat makam
ibundanya, Ida Ayu Nyoman Rai. Pemerintah
menganugerahkannya sebagai "Pahlawan Proklamasi"
biografi bung karno
Biografi Presiden Soekarno
Presiden pertama Republik
Indonesia, Soekarno yang biasa
dipanggil Bung Karno, lahir di
Blitar, Jawa Timur, 6 Juni 1901 dan
meninggal di Jakarta, 21 Juni
1970. Ayahnya bernama Raden
Soekemi Sosrodihardjo dan
ibunya Ida Ayu Nyoman Rai.
Semasa hidupnya, beliau
mempunyai tiga istri dan
dikaruniai delapan anak. Dari istri
Fatmawati mempunyai anak
Guntur, Megawati, Rachmawati,
Sukmawati dan Guruh. Dari istri Hartini mempunyai Taufan
dan Bayu, sedangkan dari istri Ratna Sari Dewi, wanita
turunan Jepang bernama asli Naoko Nemoto mempunyai
anak Kartika..
Masa kecil Soekarno hanya beberapa tahun hidup bersama
orang tuanya di Blitar. Semasa SD hingga tamat, beliau
tinggal di Surabaya, indekos di rumah Haji Oemar Said
Tokroaminoto, politisi kawakan pendiri Syarikat Islam.
Kemudian melanjutkan sekolah di HBS (Hoogere Burger
School). Saat belajar di HBS itu, Soekarno telah
menggembleng jiwa nasionalismenya. Selepas lulus HBS
tahun 1920, pindah ke Bandung dan melanjut ke THS
(Technische Hoogeschool atau sekolah Tekhnik Tinggi yang
sekarang menjadi ITB). Ia berhasil meraih gelar "Ir" pada 25
Mei 1926.
Kemudian, beliau merumuskan ajaran Marhaenisme dan
mendirikan PNI (Partai Nasional lndonesia) pada 4 Juli 1927,
dengan tujuan Indonesia Merdeka. Akibatnya, Belanda,
memasukkannya ke penjara Sukamiskin, Bandung pada 29
Desember 1929. Delapan bulan kemudian baru disidangkan.
Dalam pembelaannya berjudul Indonesia Menggugat, beliau
menunjukkan kemurtadan Belanda, bangsa yang mengaku
lebih maju itu.
Pembelaannya itu membuat Belanda makin marah. Sehingga
pada Juli 1930, PNI pun dibubarkan. Setelah bebas pada
tahun 1931, Soekarno bergabung dengan Partindo dan
sekaligus memimpinnya. Akibatnya, beliau kembali
ditangkap Belanda dan dibuang ke Ende, Flores, tahun 1933.
Empat tahun kemudian dipindahkan ke Bengkulu.
Setelah melalui perjuangan yang cukup panjang, Bung Karno
dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada
17 Agustus 1945. Dalam sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945,
Ir.Soekarno mengemukakan gagasan tentang dasar negara
yang disebutnya Pancasila. Tanggal 17 Agustus 1945, Ir
Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia. Dalam sidang PPKI, 18 Agustus
1945 Ir.Soekarno terpilih secara aklamasi sebagai Presiden
Republik Indonesia yang pertama.
Sebelumnya, beliau juga berhasil merumuskan Pancasila
yang kemudian menjadi dasar (ideologi) Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Beliau berupaya mempersatukan
nusantara. Bahkan Soekarno berusaha menghimpun bangsa-
bangsa di Asia, Afrika, dan Amerika Latin dengan Konferensi
Asia Afrika di Bandung pada 1955 yang kemudian
berkembang menjadi Gerakan Non Blok.
Pemberontakan G-30-S/PKI melahirkan krisis politik hebat
yang menyebabkan penolakan MPR atas
pertanggungjawabannya. Sebaliknya MPR mengangkat
Soeharto sebagai Pejabat Presiden. Kesehatannya terus
memburuk, yang pada hari Minggu, 21 Juni 1970 ia
meninggal dunia di RSPAD. Ia disemayamkan di Wisma Yaso,
Jakarta dan dimakamkan di Blitar, Jatim di dekat makam
ibundanya, Ida Ayu Nyoman Rai. Pemerintah
menganugerahkannya sebagai "Pahlawan Proklamasi"
Soekarno – Sejarah yang tak
memihak
Posted by iman under: SEJARAH; SOEKARNO .
Malam minggu. Hawa
panas dan angin seolah
diam tak berhembus. Malam ini saya bermalam di rumah ibu
saya. Selain rindu masakan sambel goreng ati yang
dijanjikan, saya juga ingin ia bercerita mengenai Presiden
Soekarno.
Ketika semua mata saat ini sibuk tertuju, seolah menunggu
saat saat berpulangnya Soeharto, saya justru lebih tertarik
mendengar penuturan saat berpulang Sang proklamator.
Karena orang tua saya adalah salah satu orang yang
pertama tama bisa melihat secara langsung jenasah
Soekarno.
Saat itu medio Juni 1970. Ibu yang baru pulang berbelanja,
mendapatkan Bapak ( almarhum ) sedang menangis
sesenggukan.
“ Pak Karno seda “ ( meninggal )
Dengan menumpang kendaraan militer mereka bisa sampai
di Wisma Yaso. Suasana sungguh sepi. Tidak ada penjagaan
dari kesatuan lain kecuali 3 truk berisi prajurit Marinir ( dulu
KKO ). Saat itu memang Angkatan Laut, khususnya KKO
sangat loyal terhadap Bung Karno. Jenderal KKO Hartono –
Panglima KKO – pernah berkata ,
“ Hitam kata Bung Karno, hitam kata KKO. Merah kata Bung
Karno, merah kata KKO “
Banyak prediksi memperkirakan seandainya saja Bung Karno
menolak untuk turun, dia dengan mudah akan melibas
Mahasiswa dan Pasukan Jendral Soeharto, karena dia masih
didukung oleh KKO, Angkatan Udara, beberapa divisi
Angkatan Darat seperti Brawijaya dan terutama Siliwangi
dengan panglimanya May.Jend Ibrahim Ajie.
Namun Bung Karno terlalu cinta terhadap negara ini.
Sedikitpun ia tidak mau memilih opsi pertumpahan darah
sebuah bangsa yang telah dipersatukan dengan susah
payah. Ia memilih sukarela turun, dan membiarkan dirinya
menjadi tumbal sejarah.
The winner takes it all. Begitulah sang pemenang tak akan
sedikitpun menyisakan ruang bagi mereka yang kalah.
Soekarno harus meninggalkan istana pindah ke istana Bogor.
Tak berapa lama datang surat dari Panglima Kodam Jaya –
Mayjend Amir Mahmud – disampaikan jam 8 pagi yang
meminta bahwa Istana Bogor harus sudah dikosongkan jam
11 siang.
Buru buru Bu Hartini, istri Bung Karno mengumpulkan
pakaian dan barang barang yang dibutuhkan serta
membungkusnya dengan kain sprei. Barang barang lain
semuanya ditinggalkan.
“ Het is niet meer mijn huis “ – sudahlah, ini bukan rumah
saya lagi , demikian Bung Karno menenangkan istrinya.
Sejarah kemudian mencatat, Soekarno pindah ke Istana Batu
Tulis sebelum akhirnya dimasukan kedalam karantina di
Wisma Yaso.
Beberapa panglima dan loyalis dipenjara. Jendral Ibrahim
Adjie diasingkan menjadi dubes di London. Jendral KKO
Hartono secara misterius mati terbunuh di rumahnya.
Kembali ke kesaksian yang diceritakan ibu saya. Saat itu
belum banyak yang datang, termasuk keluarga Bung Karno
sendiri. Tak tahu apa mereka masih di RSPAD sebelumnya.
Jenasah dibawa ke Wisma Yaso. Di ruangan kamar yang
suram, terbaring sang proklamator yang separuh hidupnya
dihabiskan di penjara dan pembuangan kolonial Belanda.
Terbujur dan mengenaskan. Hanya ada Bung Hatta dan Ali
Sadikin – Gubernur Jakarta – yang juga berasal dari KKO
Marinir.
Bung Karno meninggal masih mengenakan sarung lurik
warna merah serta baju hem coklat. Wajahnya bengkak
bengkak dan rambutnya sudah botak.
Kita tidak membayangkan kamar yang bersih, dingin berAC
dan penuh dengan alat alat medis disebelah tempat
tidurnya. Yang ada hanya termos dengan gelas kotor, serta
sesisir buah pisang yang sudah hitam dipenuhi jentik jentik
seperti nyamuk. Kamar itu agak luas, dan jendelanya blong
tidak ada gordennya. Dari dalam bisa terlihat halaman
belakang yang ditumbuhi rumput alang alang setinggi dada
manusia !.
Setelah itu Bung Karno diangkat. Tubuhnya dipindahkan ke
atas karpet di lantai di ruang tengah.
Ibu dan Bapak saya serta beberapa orang disana sungkem
kepada jenasah, sebelum akhirnya Guntur Soekarnoputra
datang, dan juga orang orang lain.
Namun Pemerintah orde baru juga kebingungan kemana
hendak dimakamkan jenasah proklamator. Walau dalam
Bung Karno berkeingan agar kelak dimakamkan di Istana
Batu Tulis, Bogor. Pihak militer tetap tak mau mengambil
resiko makam seorang Soekarno yang berdekatan dengan
ibu kota.
Maka dipilih Blitar, kota kelahirannya sebagai peristirahatan
terakhir. Tentu saja Presiden Soeharto tidak menghadiri
pemakaman ini.
Dalam catatan Kolonel Saelan, bekas wakil komandan
Cakrabirawa,
“ Bung karno diinterogasi oleh Tim Pemeriksa Pusat di
Wisma Yaso. Pemeriksaan dilakukan dengan cara cara yang
amat kasar, dengan memukul mukul meja dan memaksakan
jawaban. Akibat perlakuan kasar terhadap Bung Karno,
penyakitnya makin parah karena memang tidak
mendapatkan pengobatan yang seharusnya diberikan. “
( Dari Revolusi 1945 sampai Kudeta 1966 )
dr. Kartono Mohamad yang pernah mempelajari catatan
tiga perawat Bung Karno sejak 7 februari 1969 sampai 9 Juni
1970 serta mewancarai dokter Bung Karno berkesimpulan
telah terjadi penelantaran. Obat yang diberikan hanya
vitamin B, B12 dan duvadillan untuk mengatasi penyempitan
darah. Padahal penyakitnya gangguan fungsi ginjal. Obat
yang lebih baik dan mesin cuci darah tidak diberikan.
( Kompas 11 Mei 2006 )
Rachmawati Soekarnoputri, menjelaskan lebih lanjut,
“ Bung Karno justru dirawat oleh dokter hewan saat di
Istana Batutulis. Salah satu perawatnya juga bukan perawat.
Tetapi dari Kowad “
( Kompas 13 Januari 2008 )
Sangat berbeda dengan dengan perlakuan terhadap mantan
Presiden Soeharto, yang setiap hari tersedia dokter dokter
dan peralatan canggih untuk memperpanjang hidupnya, dan
masih didampingi tim pembela yang dengan sangat gigih
membela kejahatan yang dituduhkan. Sekalipun Soeharto
tidak pernah datang berhadapan dengan pemeriksanya, dan
ketika tim kejaksaan harus datang ke rumahnya di Cendana.
Mereka harus menyesuaikan dengan jadwal tidur siang sang
Presiden !
Malam semakin panas. Tiba tiba saja udara dalam dada
semakin bertambah sesak. Saya membayangkan sebuah
bangsa yang menjadi kerdil dan munafik. Apakah jejak
sejarah tak pernah mengajarkan kejujuran ketika justru
manusia merasa bisa meniupkan roh roh kebenaran ? Kisah
tragis ini tidak banyak diketahui orang. Kesaksian tidak
pernah menjadi hakiki karena selalu ada tabir tabir di
sekelilingnya yang diam membisu. Selalu saja ada korban
dari mereka yang mempertentangkan benar atau salah.
Butuh waktu bagi bangsa ini untuk menjadi arif.
Kesadaran adalah Matahari
Kesabaran adalah Bumi
Keberanian menjadi cakrawala
Perjuangan adalah pelaksanaan kata kat
sosok bung karno
itengah derasnya hujan angin,
sosok bung Karno yang kala itu
masih menjadi bocah angon
berlari kecil menelusuri jalan
setapak menuju bukit gorong,
yang terletak disebelah kanan
sungai Penyu Cilacap, Jawa
tengah. Beliau membawa satu
amanat dari salah satu gurunya
KH. Rifai bin Soleh Al Yamani
(Hadrotul maut), Banyuwangi,
Jawa Timur.
Sebagai seorang pemikir handal
yang mempercayai suatu
kehidupan alam lain, beliau kerap
mengasingkan diri dalam fenomena yang tak layak pada
umumnya, yaitu selalu bertirakat dari satu gua kumuh,
bebukitan terjal , hutan belantara hingga tempat wingit
lainnya.
Kisah ini terjadi pada jum’at legi, bulan maulud 1937H.
Berawal dari sebuah mimpi yang dialaminya. Di suatu
malam, beliau didatangi seekor naga besar yang ingin ikut
serta mendampingi hidupnya. Naga itu mengenalkan dirinya
bernama, Sanca Manik Kali Penyu, yang tinggal didalam bukit
Gorong, kepunyaan dari Ibu Ratu Nyi Blorong, yang
melegendaris.
Dengan kejelasan mimpinya, Bung Karno, langsung menemui
KH. Rifai, yang kala itu sangat masyhur namanya. Lalu sang
kyai memberinya berupa amalan atau sejenis doa Basmalah,
yang konon bisa mewujudkan benda gaib menjadi nyata.
Lewat suatu komtemplasi dan prosesi ritual panjang,
akhirnya Bung Karno, ditemui sosok wanita cantik yang tak
lain adalah Nyi Blorong sendiri.
"Andika!! Derajatmu wes tibo neng arep, siap nampi
mahkota loro, lan iki mung ibu iso ngai bibit kejembaran
soko nagara derajat, kang manfaati soko derajatmu ugo
wibowo lan rejekimu serto asih penanggihan" terang Nyi
Blorong.
Yang arti dari ucapan
tadi kurang lebihnya; "Anakku!! Sebentar lagi kamu akan
menjadi manusia yang mempunyai dua derajat sekaligus
(Pemimpin umat manusia dan bangsa gaib yang disebut
sebagai istilah/ Rijalul gaib). Saya hanya bisa memberikan
sebuah mustika yang manfaatnya sebagai, ketenangan
hatimu, keluhuran derajat, wibawa, kerejekian serta
pengasihan yang akan membawamu dipermudah dalam
segala tujuan"
Mustika yang dimaksud tak lain berupa paku bumi, jelmaan
dari seekor naga sakti, Sanca Manik, yang didalam mulutnya
terdapat satu buah batu merah delima bulat berwarna
merah putih crystal.(Bisa dilihat dalam gambar atas) symbol
dari bendera merah putih/ negara Indonesia.
Sebagai sosok mumpuni sekaligus hobbiis dalam dunia
supranatural, (7) bulan, dari kedapatan mustika Sanca Manik,
beliau pun bermimpi kembali. Yang mana didalam mimpinya
sosok Kanjeng Sunan KaliJaga beserta ibu Ratu Kidul
Pajajaran (suami istri) menyuruh Bung Karno, datang ke
bukit Tinggi Pelabuhan Ratu, Sukabumi- Jawa Barat.
"Datanglah Nak ketempatku!!! Kusiapkan jodoh dari
pemberian Putranda (Nyi Blorong) yang kini telah kau terima,
tak pantas melati tanpa kembang kenanga, lelaki tanpa
adanya wanita"
Tentunya sebagai seorang yang berpengalaman dalam
pengolahan bathiniyah, Bung Karno, adalah salah satu bocah
yang sangat paham akan makna sebuah mimpi. Dalam hal
ini beliau menyakini bahwa mimpi yang barusan dialaminya
adalah bagian dari kebenaran.
Dengan meminta bantuan kepada, Kartolo Harjo, asal dari
kota Pekalongan, yang kala itu dianggap orang paling kaya,
merekapun hari itu juga langsung menuju lokasi yang
dimaksud, dengan membawa sedan cw keluaran tahun 1889.
Kisah perjalanan menuju Pelabuhan Ratu, ini cukup memakan
waktu panjang, pasalnya disetiap daerah yang dilaluinya
Bung Karno, selalu diberhentikan oleh seseorang yang tidak
dikenal.
Mereka berebut memberikan sesuatu pada sosok
kharismatik berupa pusaka maupun bentuk mustika. Hal
semacam ini sudah sewajarnya dalam dunia keparanormalan
sejak zaman dahulu kala, dimana ada sosok yang bakal
menjadi cikal seorang pemimpin, maka seluruh bangsa
gaibiah akan dengan antusiasnya berebut memamerkan
dirinya untuk bisa sedekat mungkin dengannya.
Untuk mengungkapkan lebih lanjut perjalanan Bung Karno
menuju Pelabuhan Ratu, yang dimulai pada hari Kamis pon,
ba’da subuh, Syawal 1938H, pertama kalinya perjalanan ini
dimulai dari kota Klaten Jawa Tengah.
Ditengah hutan Roban, Semarang, beliau diminta turun oleh
sosok hitam berambut jambul, yang mengaku bernama,
Setopati asal dari bangsa jin, dan memberikan pusaka
berupa cundrik kecil, berpamor Madura dengan besi warna
hitam legam. Manfaatnya, sebagai wasilah bisa menghilang.
Juga saat melintas kota Brebes dan Cirebon, beliau disuruh
turun oleh (empat) orang yang tidak dikenal
1. Bernama kyai Paksa Jagat, dari bangsa Sanghiyang,
memberikan sebuah keris berluk- 5, manfaatnya sebagai
wasilah, tidak bisa dikalahkan dalam beragumen.
2. Bernama Nyai sempono, asal dari Selat Malaka, yang
ngahyang sewaktu kejadian Majapahit dikalahkan oleh
Demak Bintoro, beliau memberikan sebuah tusuk konde
yang dinamai, Paku Raksa Bumi, manfaatnya, mempengaruhi
pikiran manusia.
3. Bernama Kyai Aji, asal dari siluman Seleman, beliau
memberikan sebuah pusaka berupa taring macan,
manfaatnya, sebagai kharisma dan kedudukan derajat.
4. Bernama Ki Jaga Rana, memberikan sebuah batu mustika
koplak, berwarna merah cabe, manfaatnya sebagai daya
tahan tubuh dari segala cuaca.
Lalu saat melintas hutan Tomo Sumedang, beliaupun
dihadang oleh seorang nenek renta yang mengharuskannya
turun dari mobil, mulanya Bung Karno, enggan turun, namun
saat melaluinya untuk terus melajukan mobil yang
dikendarinya, ternyata mobil tersebut tidak bisa jalan sama
sekali, disitu beliau diberikan satu buah mustika Yaman
Ampal, sebagai wasilah kebal segala senjata tajam.
Juga saat melintas digerbang perbatasan Sukabumi, beliau
dihadang oleh segerombolan babi hutan, yang ternyata
secara terpisah, salah satu dari binatang tadi meninggalkan
satu buah mustika yang memancarkan sinar kemerahan
berupa cungkup kecil yang didalamnya terdapat satu buah
batu merah delima mungil.
Sesampainya ditempat yang dituju, Bung Karno dan
temanya mulai mempersiapkan rambe rompe berupa
sesajen sepati, sebagai satu penghormatan kepada seluruh
bangsa gaib yang ada ditempat itu, tepatnya malam rabo
kliwon, Bung Karno, mulai mengadakan ritual khususiah
secara terpisah dengan temannya, semua ini beliau lakukan
agar jangan sampai menggangu satu sama lainnya dalam
aktifitas menuju suatu penghormatan kepada bangsa gaib
yang mengundangnya.
Dua malam beliau melakukan ritual tapa brata, dengan cara
sikep kejawen yang biasa dilakukannya saat menghadapi
penghormatan kepada bangsa gaib, lepas pukul 24.00,
seorang bersorban dan wanita cantik yang tiada tara datang
menghampirinya, mereka berdua tak lain adalah Sunan
kaliJaga dan Nyimas Nawang wulan Sari Pajajaran, yang
sengaja mengundangnya.
"Anakku!!! Dalam menghadapi peranmu yang sebentar lagi
dimulai, Ibu hanya bisa memberikan sementara sejodoh
mustika yang diambil dari dasar laut Nirsarimayu (dasar laut
pantai selatan sebelah timur kaputrennya) ini mustika
jadohnya dari yang sudah kamu pegang saat ini,gunakanlah
mustika ini sebagai wasilah kerejekian guna membantu
orang yang tidak mampu, sebab inti dari kekuataqn
yangterkandung didalamnya, bisa memudahkan segala
urusan duniawiah sesulit apapun" Lalu setelah berucap
demikian, kedua sang tokoh pun langsung menghilang dfari
pandangannya.
Kini tinggal Bung karno, sendirian yang langsung menelaah
segala ucapan dari Ibu Ratu, barusan.
Di dalam tatacara ilmu supranatural, cara yang dilakukan
oleh Bung karno, diam menafakuri setelah kedapatan hadiah
dari bangsa gaib tanpa harus meninggalkan tempat
komtemplasi terlebih dahulu, adalah suatu tatakrama yang
sangat dihormati oleh seluruh bangsa gaib dan itu
dinamakan, Sikep undur/ tatkrama perpisahan.
Dari kejadian itu Bung Karno, langsung mengambil sikap
diam dalam perjalanan pulang sambil berpuasa hingga
sampai rumah/ tempat kembali semula, cara seperti ini
disebut sebagai, Ngaulo hamba/ mentaati pelaturan gaib
supaya apa yang sudah dimilikinya bisa bermanfaat lahir dan
bathin.
Dalam kisah ini bisa diaambil kesimpulan bahwa, segala
sesuatunya bisa bermanfaat, apabila disertai kerja keras dan
tetap memegang penghormatan dalam menggunakan
apapun yang bersifat gaibiyah, bukan malah sebaliknya,
digunakan terhadap tujuan yang kurang bermanfaat atau
banyaknya berandai- andai yang mengakibatkan kita jadi
malas.
Kisah ini sudah mendapatkan ijin dari Ahlul Khosois, Habib
Umar bin Yahya, Pekalongan, habib Nawawi Cirebon, Habib
Nur, Indramayu dan Mbah Moh, dari Pertanahan Kebumen
Jawa Tengah. Semoga yang kami uraikan tadi bisa diambil
hikmah dan manfaatnya.
Sumber : misteri (idris nawawi)
Langganan:
Postingan (Atom)