Minggu, 26 Agustus 2012
prabu kian santang
Cerita Tentang Walangsungsang ( Prabu Kiansantang )
Dalam beberapa kisah Pangeran Cakrabuana atau Walangsungsang dianggap sama dengan
Kiansantang, padahal dalam kisah lainnya Pangeran Cakrabuana banyak juga yang menyebut
namanya dengan sebutan Arya Santang.
Kiansantang dalam cerita lain sering dianggap sebagai seorang anak yang berupaya mengislamkan
Prabu Siliwangi (ayahnya), sehingga terjadi peperangan. Padahal kejatuhan Pajajaran terjadi jauh-
jauh hari pasca wafatnya Sri Baduga. Tidak ada alasan seorang raja yang memiliki tahta penuh harus
ngalalana lantaran dikejar-kejar anaknya, sementara dia sendiri masih bertahta sebagai raja yang
berkuasa. Ada juga yang menyebutkan bahwa Kiansantang adalah nama lain dari Rajasangara yang
dikebumikan di daerah Godog – Garut. Ia termasuk penyebar islam di Jawa Barat.
Dalam cerita lainnya Kiansantang dianggap tilem dan tetap kokoh ngagem agama leluhurnya. Ia
dianggap benteng budaya sunda yang tak lekang ditelan waktu tak luntur ditelan masa. Tapi patut
pula diakui, bahwa kesimpang siuran penafsiran Kiansantang membawa pada pemahaman yang
kurang pas tentang sosok sejarah Cakrabuana, bahkan ada yang menafsirkan bahwa Kiansantang
bukan Arya Santang. Namun mudah mudahan kedepan ada sejarawan yang mampu menguak tabir
ini, tentunya melalui cara pemisahan antara mitos dan sejarahnya yang hakiki.
Siapa Cakrabuana ?
Perkawinan Sang Pamanahrasa (Sri Baduga Maharaja) dengan Nyi Mas Subanglarang, putri dari Ki
Gedeng Tapa, memperoleh putera dan putri, yakni Walangsungsang, Rara Santang dan Rajasangara.
Sang Pamanah Rasa mempersunting Nyi Mas Subanglarang setelah terlebih dahulu mengalahkan
Raja Sakti Mandraguna dari wilayah Cirebon, yakni Amuk Murugul. Dengan demikian, baik dari Sirsilah
ibu maupun ayah, Walangsungsang masih teureuh Niskala Wastukancana.
Subanglarang sebelum dipersunting Sang Pamanahrsa terlebih dahulu telah memeluk agama Islam.
Ia pun alumnus dari Pesantren Quro yang didirikan oleh Syeh Hasanudin atau Syeh Quro (bukan Sultan
Hasanudin). Menjadi tidak mengherankan jika putra-putrinya memeluk agama Islam dan direstui oleh
Sang Pamanahrasa.
Bahwa memang ada cerita tentang keluarnya ketiga bersaudara tersebut keluar lingkungan istana
Pakuan disebabkan ada perselisihan tahta antara Subanglarang dengan Kentring Manik
Mayangsunda. Namun ada pula yang menceritakan bahwa keluarnya Walangsungsang dari
lingkungan Pakuan bersama adiknya, Nyi Mas Rarasantang dilakukan dengan seijin ayahnya,
sedangkan Rajasangara tetap berada dilingkungan Pakuan. Untuk kemudian tahta Pajajaran
diteruskan oleh Surawiesa putra Sri Baduga dari Kentring Manik Mayangsunda. Bahkan ketika masih
menjadi Prabu Anom Surawisesa, pajajaran mengadakan perjanjian dengan Portugis (1512 M)
disebut-sebut perjanjian ini merupakan kali pertama yang di dokumentasikan dengan baik.
Yoseph Iskandar didalam bukunya menjelaskan, bahwa : pada suatu ketika, Walangsungsang
bersama adik-adiknya meminta izin secara baik-baik kepada ayahandanya, untuk pergi ke Kerajaan
Singapura (Cirebon). Alasan Walangsungsang dan adik-adiknya yang utama dikemukakan secara terus
terang kepada ayahnya. Walangsungsang yang berstatus Tohaan (Pangeran), juga adik-adiknya,
merasa bertanggung jawab untuk meningkatkan kualitas dirinya sebagai putera-puteri Maharaja.
Mereka merasa haus akan ilmu pengetahuan, terutama dibidang keagamaan. Ketika ibunya masih
hidup, mereka ada yang membimbing, tetapi ketika ibunya telah wafat, di Pakuan tidak ada orang
yang bisa dijadikan guru mereka. Tidak Ada lagi penenang batin yang memadai bagi mereka.
Sri Baduga Maharaja, ketika itu masih berstatus Prabu Anom, bahkan mertuanya (Prabu
Susuktunggal) masih dibawah kekuasaan kakeknya, Sang Mahaprabu Niskala Wastu Kancana. Sri
Baduga Maharaja atau Prabu Anom Jayadewata, sangat maklum atas keinginan ketiga puterinya itu.
Dengan berat hati ia hanya mengijinkan Walangsungsang dan Rara Santang, sedangkan Rajasangara
dimohon tetap tinggal di Pakuan.
Tentang Rajasangara ini mungkin pada suatu waktu menimbulkan penafsiran yang berbeda,
terutama ketika ia diindetifisr sebagai Kiansantang. Padahal nama Rajasangara sangat jarang
disebut sebut dalam sejarah lisan dan kalah tenar dibandingkan dengan Kiansantang. Namun sangat
sulit mencari sejarah yang ditulis resmi tentang Kiansantang.
Pengembaraan
Didalam cerita masa lalu, pengembaraan seorang anak raja guna menambah ilmu dan memperluas
cakrawala bathinnya merupakan faktor penting bagi perkembangan kepribadiannya. Hal ini sama
ketika dilakukan oleh Niskala Wastu Kancana yang mengembara ke wilayah Sumatera, atau Sri
Baduga sebelum menduduki tahta Pajajaran. Dalam dokumen resmi pun demikian, seperti yang
diketahui tentang Bujangga Manik, yang kelak dikemudian hari banyak dirujuk sebagai topografi
untuk wilayah pada saat itu.
Demikian pula dalam kisah Walanagsungsang, sebagai seorang yang haus akan ilmu Pangeran
Walangsungsang kemudian memohon pamit juga kepada Ki Gedeng Tapa untuk berguru mencari
ilmu ditempat lain.
Sulit dibayangkan oleh para peminat sejarah yang kadung mendikotomi ageman ketika ada kisah
Walangsungsang memperistri Indang Geulis, putri dari Ki Danuwarsih, seorang pendeta Budha. Hal
ini terjadi ketika Walangsungsang melakukan pengembaraan ke wilayah Timur. Hingga pada suatu
hari ia tiba di padepokan Ki danuwarsih, seorang pendeta agama Budha. Ki Danuwarsih adalah anak
seorang pendeta Budha, Ki Danusetra yang berasal dari Gunung Dihyang (dieng), kemudian menjadi
pendeta di Keraton Galuh, ketika ibukota Kerajaan Galuh masih di Karang Kamulyan, Ciamis.
Pemaknaan lainnya mungkin juga dapat diambil ketika Walangsungsang berguru tanpa ia pun harus
meninggalkan agamanya. Yoseph Iskandar menafsirkan, bahwa : Mungkin saja ia ingin mengetahui
agama Budha, hanya sebagai studi perbandingan.
Didalam buku yang sama Yoseph Iskandar menjelaskna pula, bahwa : tempat tinggal Ki danuwarsih,
menurut naskah Pustaka nagara Kretabhumi parwa 1 sarga 4, hanya diterangkan di Parahiyangan
bang Wetan. Ketika mengadakan “Penelitian Bahasa Sunda” di Kabupaten Pakalongan atas prakarsa
Lemit Unpas tahun 1989, dikecamatan Paninggaran, terdapat beberapa situs, diantaranya makam
keramat Embah Wali Tanduran ; makam Pajajaran di bukit Sigabung, dan makam Pajajaran di Pacalan
Kampung Sebelas.
Pada saat dilakukan penelitian, sesepuh dan rakyat di Paninggaran, tidak pernah mengetahui asal usul
nama daerahnya. Ada yang mengatakan Paninggarang itu berasal dari kata “menginggar-
inggar” (penuh kegembiraan). Dalam bahasa Sunda sangat jelas bahwa arti dari kata paninggarang
adalah pemburu dalam bahasa Indonesia.
Setelah diterangkan bahwa paninggaran itu artinya pemburu, para sesepuh menerangkan,
sesungguhnya Embah Wali Tanduran itu dulunya seorang pemburu. Bahkan orang tua mereka
(penduduk asli Paninggaran), semuanya mahir berburu. Mereka membuktikannya dengan
memperlihatkan tombak-tombak pusaka dan panah pusaka peninggalan leluhurnya, yang khusus
hanya digunakan untuk memburu.
Makam Embah Wali Tanduran sebenarnya bukan makam, tetapi pasarean atau patilasan, bekas
Pangeran Cakrabuana. Begitu juga yang disebut makam Pajajaran di bukit Sigabung, adalah pasarean
tempat pangeran Cakrabuan menyepi. Kalau makam Pajajaran yang berada di Pacalan Kampung
Sebelas, itu tempat tinggalnya Pangeran Cakrabuana. Tentu masyarakat tidak akan berani merusak
batu-batu yang berada disana, karena suka bertemu dengan harimau putih dari Pajajaran.
Pangeran Cakrabuan nama lain dari Walangsungsang. Menurut KH Syarifudin, patilasan-patilasan
(situs) Pangeran Cakrabuana banyak terdapat tersebar di beberapa kecamatan. Setelah melihat peta
Kabupaten Pekalongan, patilasan-patilasan tersebut dapat dihubung-hubungkan melalui garis lurus,
terbentang antara Gunung Dieng (Dihyang) sampai Cirebon.
Berdasarkan identifikasi mungkin saja Walangsungsang pernah tinggal di padepokan agama Budha di
dataran tinggi Dieng. Atau pada waktu itu dataran tinggi Dihyang (Dieng) masih termasuk wilayah
“Parahiyangan bang Wetan”. Kalau indentifikasi tersebut “benar”, mungkin ketika Walangsungsang,
Indang Geulis, dan Rara Santang, pulang ke Cirebon, melalui jalur dan melewati Paninggaran.
Pada tanggal 14 bagian terang bulan Caitra tahun 1367 Saka atau Kamis tanggal 8 April 1445
Masehi, bertepatan dengan 1 Muharam 848 Hijriah, Walangsungsang membuka perkampungan baru
dihutan pantai kebon pasisir, diberi nama Cirebon Larang atau Cirebon Pasisir. Nama tersebut
diambil berdasarkan nama yang sudah ada, yaitu kerajaan Cirebon yang terletak dilereng Gunung
Cereme yang pernah dirajai oleh Ki Gedeng Kasmaya (putera sulung Sang Bunisora). Ketika Cirebon
Pasisir sudah berdiri, kawasan Cirebon yang dilereng Gunung Cereme kemudian disebut Cirebon
Girang. Ki Danusela menjadi kuwu yang pertama, dan Ki Samadullah terpilih menjadi pangraksabumi,
dengan julukan Ki Cakrabumi yang kemudian dijuluki pula Pangeran Cakrabuana.
Setelah menunaikan ibadah haji, Pangeran Walangsungsang alias Ki Samadullah alias Pangeran
Cakrabuana, mendapat nama baru, Haji Abdullah Imam. Begitu juga adiknya Rara Santang mendapat
nama baru sebagai Hajjah Syarifah Muda’im.
Haji Abdullah Imam bermukim selama 3 bulan di Mekkah. Ketika dalam perjalanan pulang ke Jawa
Barat sempat singgah di Bagdad (Irak) dan Cempa (Indo Cina). Di Cempa, Haji Abdullah Imam
berguru kepada Syeh Ibrahim Akbar. Haji Abdullah Imam dijodohkan dengan puterinya dan
dibawanya pulang ke Cirebon. Setibanya di Cirebon, isterinya Indah Geulis telah melahirkan seorang
puteri kemudian diberi nama Nyai Pakungwati.
Kemudian Haji Abdullah Imam memperisteri Ratna Riris, puteri dari Ki Danusela dan namanya diganti
dengan Kancana Larang. Ketika Ki Danusela wafat, Haji Abdullah Imam terpilih menjadi kuwu yang
kedua di Cirebon Larang. Selanjutnya setelah Ki Gedeng Tapa (kakeknya) wafat, Haji Abdullah Imam
tidak mendapat warisan tahtanya, melainkan mendapat warisan harta kekayaan yang berlimpah.
Bermodal warisan harta kekayaan dari kakeknya, Haji Abdullah Imam mendirikan keraton yang
kemudian diberi nama Keraton Pakungwati, diambil dari nama puterinya. Kemudian Haji Abdullah
Imam mendirikan tentara kerajaan.
Hubungan Cirebon – Pajajaran
Memperhatikan puteranya telah berhasil membuat kerajaan Islam pertama di Pajajaran, Sri Baduga
Maharaja mengutus Ki Jagabaya (Perwira Angkatan Perang Pajajaran) beserta pengiringnya, juga
turut serta Rajasangara (adik bungsu Haji Abdullah Imam), untuk merestuinya. Di keraton
Pakungwati, Haji Abdullah Imam dinobatkan sebagai raja daerah dengan gelar Sri Mangana.
Walangsungsang direstui ayahnya untuk menjadi penguasa Cirebon namun secara sukarela ia
menyerahkannya kepada keponakannya, anak dari Rarasantang, yaki Syarif Hidayat. Sekalipun
demikina ia pun masih mampu bertindak sebagai pelindung Cirebon.
Secara politis hubungan Pajajaran dengan Cirebon sangat tergantung dari hubungan Sri Baduga
dengan Walangsungsang. Hal ini mengalami masa krisis ketika Syarif Hidayat, atas dasar saran para
wali memproklamirkan Cirebon sebagai negara yang merdeka, dengan Raja pertamanya Syarif
Hidayat. Pada masa itu Sri Baduga akan mengirimkan pasukan untuk menyerang Cirebon, namun
berhasil dicegah oleh Purohita (pendeta tertinggi keraton), dengan alasan tidak baik seorang kakek
memerangi anak (walangsungsang) dan cucunya (Syarif Hidayat). Cirebon akhirnya menjadi negara
merdeka.
Memang kekhawatiran Sri Baduga terhadap Cirebon karena terlalu rapatnya hubungan dengan
Demak, terutama pasca pernikahan keturunan Cirebon dengan Dengan dan gadirnya armada laut
Demak di Cirebon. Padahal Pajajaran memiliki kekuatan pasukan darat namun sangat lemah di laut.
Hubungan dagang Demak – Cirebon makin menyulitkan perdagangan Pajajaran dengan dunia luar.
Dalam teori politik ekonomi dimungkinkan hubungan Demak – Cirebon bukan hanya menyangkut
masalah pengembangan agama, melainkan juga hubungan dagang. Untuk menjaga wilayahnya, Sri
Baduga kemudian membuat perjanjian dengan Portugis. Hal yang sama dilakukan oleh Hasanudin
(1546) ketika Banten dan Cirebon membantu Demak untuk menyerang Pasuruan, sama-sama negara
islam.
Dalam melaksanakan perjanjian, dari Pajajaran diwakili oleh Surawisesa, putra mahkota. Dalam
hikayat ini dimitoskan pula kisah Mundinglaya Dikusumah yang melawan Guriang. Kelak Guriang ini di
tafsirkan sebagai orang-orang Portugis yang berbadan tinggi dan besar jika dibandingkan dengan
orang sendiri.
Pasca wafatnya Sri Baduga keseganan Cirebon terhadap Pajajaran menjadi berkurang. Perang antara
keduanya terjadi selama lima tahun. Di front lainnya Galuh masih merasa memiliki ikatan sejarang
dengan Cirebon, karena Cirebon dahulu berada dibawah daulat Galuh, hingga Galuh melakukan
penyerangan ke Cirebon.
Ketika Cirebon sedang mempersiapkan penyerangan yang ditujukan ke Daerah Talaga, peperangan
terhenti ketika Syarif Hidayat mendapat berita, bahwa Walangsungsang pendiri Pakungwati dan
pelindung Cirebon wafat (1529 M). Dengan demikian Cirebon kehilangan sosok pelindung yang dapat
diandalkan.
Walangsungsang disebut-sebut memiliki andil yang dominan mencegah pertumpahan darah, ketika
pasca pengadilan Syekh Siti Jenar yang dilakukan Walisongo dihukum mati, ia berhasil mencegah
penguasa Cirebon untuk menghukum semua penganut Syi’ah.
Demikianlah kisah seorang pembaharu teureuh Sunda yang memiliki andil besar dalam kisah
penyebaran agama islam dan membangun Kota Cirebon. Ia pun memberikan pelajaran bagi kita
semua, bahwa tahta bukan segala-galanya. Sebagaimana yang ia contohkan ketika harus
menyerahkan tahta Cirebon kepada keponakannya sendiri, yakni Syarif Hidayat.
Dari cerita ini pula kedepan diharapkan ada kupasan yang lebih mendetail tentang pembedaan
pengaruh penyebaran islam dengan ekspansi dagang yang kadang harus bercaruk, sulit dipisahkan,
sehingga sulit menarik benang merahnya. (cag heula).
Suka
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar